Toxic Productivity: Saat Kerja Keras Justru Merusak Tim Anda
Toxic Productivity: Saat Kerja Keras Justru Merusak Tim Anda
Di banyak perusahaan, kerja keras sering dijadikan standar utama untuk menilai kinerja. Lembur dianggap wajar, membalas email larut malam dipandang sebagai bentuk loyalitas, dan kalender rapat yang penuh sering kali diasosiasikan dengan produktivitas. Padahal, pola ini sebenarnya merupakan bentuk toxic productivity.
Toxic productivity adalah kondisi ketika seseorang atau tim merasa harus selalu sibuk dan terus menghasilkan output, meskipun harus mengorbankan kesehatan mental, relasi pribadi, bahkan kualitas kerja itu sendiri. Alih-alih membawa hasil lebih baik, budaya ini justru memicu burnout, menurunkan kreativitas, hingga membuat talenta terbaik memilih untuk meninggalkan perusahaan.
Tanda-Tanda Terjadinya Toxic Productivity
- Karyawan merasa bersalah saat beristirahat.
- Lembur menjadi “budaya tak tertulis” yang dianggap normal.
- Fokus lebih pada kuantitas output dibanding kualitas.
- Tidak ada ruang untuk refleksi, belajar, berkembang, atau sekadar jeda.
Apa yang Bisa Dilakukan Perusahaan?
- Menormalisasi istirahat dan cuti sebagai bagian dari produktivitas.
- Mengukur kinerja berdasarkan outcome, bukan sekadar jam kerja.
- Membangun budaya apresiasi, bukan hanya berorientasi pada target.
- Menyediakan ruang untuk refleksi, pembelajaran, dan diskusi.
Tim yang sehat adalah tim yang benar-benar produktif. Produktivitas sejati tidak diukur dari berapa lama seseorang duduk di depan layar, melainkan dari bagaimana ia bekerja dengan fokus, kreatif, dan tetap bahagia. Jadi, sudah siapkah perusahaan Anda meninggalkan toxic productivity dan mulai membangun budaya kerja yang lebih sehat?