Toxic Positivity di Tempat Kerja, Apa ya?

Toxic Positivity di Tempat Kerja, Apa ya?
Pernahkah Anda curhat tentang masalah Anda pada rekan kerja, kemudian dijawab dengan hal-hal yang “berbau” positif yang berlebihan, membandingkan dengan orang lain, kemudian seolah-olah menganggap bahwa masalah Anda tidak seberat masalah rekan kerja yang lain, yang pada akhirnya membuat Anda mengabaikan emosi atau perasaan negatif yang timbul dari masalah Anda, menutup-nutupi masalah yang sedang Anda alami, selalu berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja di segala situasi. Jika pernah, maka Anda mengalami yang disebut dengan istilah Toxic Positivity, atau kepositifan yang beracun.
Toxic Positivity adalah upaya membuat seseorang merasa lebih baik dengan berfokus pada emosi positif. Semacam menumpulkan perjuangan atau masalah seseorang, dengan mengatakan kepada mereka dapat diatasi dengan hanya berfokus pada pemikiran positif atau berfokus pada sesuatu yang lain, sehingga menolak apa pun yang dapat memicu emosi negatif. Bukankah itu terlihat sangat bagus untuk dilakukan? Kenyataanya tidak demikian.
Bagaimana Dampaknya?
Bersikap optimistis dan positif memang penting, tetapi mungkin "mengagetkan" untuk menganggap segala sesuatu itu baik-baik saja, yang mana sebenarnya justru penting untuk merasakan perasaan yang sulit atau berat. Ketika Anda menyangkal atau menghindari emosi yang tidak menyenangkan, justru akan membuat emosi negatif membesar dan menumpuk di alam bawah sadar Anda. Karena Anda menghindari perasaan itu, Anda sebenarnya mengatakan dan menguatkan pada diri sendiri bahwa Anda tidak perlu memperhatikannya. Ketika Anda terjebak dalam siklus ini, emosi ini menjadi lebih besar dan lebih signifikan karena emosi tersebut tetap tidak diproses atau diluapkan. Secara evolusi, kita sebagai manusia tidak dapat memprogram diri kita sendiri hanya untuk merasa bahagia.
Ketika Anda menghindari atau mengabaikan emosi negatif, sebenarnya Anda kehilangan informasi berharga. Misalnya, ketika Anda takut, emosi Anda memberi tahu Anda, "Waspadai lingkungan Anda." Emosi merupakan suatu informasi, yang memberi gambaran tentang apa yang terjadi pada saat tertentu, tetapi tidak mampu memberi tahu apa yang harus dilakukan atau bagaimana cara untuk bereaksi. Misalnya, jika Anda sedang menghadapi masalah dengan rekan kerja, Anda hanya akan merasakan sedih, mungkin kecewa, namun tidak semerta-merta langsung mengetahui bagaimana yang harus dilakukan jika tidak melalui proses identifikasi, alias tidak dianggap, justru menganggap hal yang wajar atau akan baik-baik saja. Hal ini akan mengakibatkan represi atau pemendaman emosi ke dalam alam bawah sadar atau memori, yang suatu saat akan muncul, meluap, dan bahkan menjadi pemicu gangguan psikis atau psikosomatis, karena sudah menumpuk dan sedang menghadapi masalah yang lain atau mirip.
Aimee Daramus, seorang psikolog Chicago menjelaskan bahwa Anda tidak bisa merasa dekat dengan seseorang jika Anda tidak bisa berbagi emosi negatif dengan mereka. Anda tidak akan pernah benar-benar merasa dicintai oleh orang lain jika Anda juga tidak bisa sedih, takut, atau marah. Karena hal itu adalah komponen dari ikatan. Kepositifan beracun menyebabkan kebingungan dan menyalahkan orang-orang yang apa adanya, misalnya mengungkapkan perasaan sedih secara alami karena kehilangan.
Berpura-pura bahwa kita tidak memiliki emosi negatif dapat menciptakan semua jenis masalah psikologis dan fisik. Keadaan penolakan itu menyebabkan stres pada pikiran dan tubuh. Perasaan negatif yang “disembunyikan” dapat menyebabkan psikosomatis, yaitu gangguan secara fisik yang diakibatkan oleh psikis, seperti sakit perut, sakit kepala, kelelahan kronis, kesusahan dan depresi, dan meningkatkan risiko penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, dan dalam lingkungan pekerjaan, secara otomatis dapat menimbulkan penurunan kinerja karyawan yang berdapak pada perusahaan.
Cara Mengatasinya
Kuncinya adalah sama-sama saling memahami antar rekan kerja, ketika rekan kerja curhat maka kita berusaha memahami untuk mendengarkan dengan baik dan menerima 100% tentang apa yang sedang dirasakan, tanpa menghakimi. Jika kita bisa memahami atau sudah pernah mengalami masalahnya atau apa yang dirasakan, kita bisa memberikan opsi secara netral atau curhat balik untuk membentuk perspektif baru rekan kerja tersebut. Begitu pula ketika kita sedang menghadapi masalah yang membingungkan, kita bisa memilih rekan kerja atau atasan bidang SDM untuk mengungkapkan yang kita rasakan. Jika perlu, bisa menggunakan layanan konsultasi ke tenaga ahli, seperti psikolog atau psikiater.
Ketika kita dapat berbagi perasaan otentik, neuron specular, yang merupakan sel yang memungkinkan kita untuk mencintai dan merasakan empati, mulai mengekspresikan diri, dan kita akan bisa merasa aman. Ini dapat menyebabkan pelepasan oksitosin, hormon yang meningkatkan rasa percaya diri dan keintiman, yang juga muncul pada saat orgasme dan melahirkan. Ketika kita merasakan perasaan bahagia dan cinta, itu sebagian disebabkan oleh efek dari oksitosin. Selain perasaan yang muncul di otak, hormon ini dirasakan di dalam tubuh yang menghasilkan relaksasi fisik.
Kita tidak mungkin mengatasi masa-masa sulit tanpa membagikannya dengan orang lain. Mengenali dan mengamati emosi negatif, secara paradoks justru dapat membantu mengatasinya, menghadapi, dan pada akhirnya bisa meninggalkannya dengan tuntas. Terapis Laura Lee Townsend dari California menjelaskan bahwa ketika kita berbagi kesedihan kita, ketakutan kita dan frustrasi kita dengan orang lain, interaksi itu menciptakan perasaan koneksi. Perasaan terhubung, didengar dan dipahami, dan bisa mengurangi perasaan negatif dengan benar.
Tidak ada manajer realistis yang mengharapkan karyawan mereka benar-benar bahagia di tempat kerja 100% sepanjang waktu. Kita semua mengalami hari-hari yang menegangkan. Untuk itulah, menjadikan prioritas untuk berkomunikasi dengan setiap karyawan Anda secara teratur. Melalui rapat rutin, Anda dapat menyelaraskan dan memberi tahu pekerja Anda di mana letak semuanya. Dengan begitu, tidak boleh ada kebingungan tentang apa yang diharapkan dilakukan. Jika Anda sebagai pimpinan atau bidang SDM, Anda bisa terus-menerus bertanya kepada karyawan Anda, terkait apa yang mereka pikirkan, menjadi fleksibel, sehingga membuat pekerjaan Anda jauh lebih mudah dan tim Anda yang jauh lebih kuat. Tambahan solusi lainnya adalah dengan menggunakan fasilitas teknologi untuk survei online secara anonim, sehingga diharapkan karyawan bebas mengungkapkan atau mengeksperesikan emosi mereka secara tertulis dan anonim.
Referensi
Reynolds, J. (2016). Fake Positivity Can be Toxic to the Workplace – Leadership Flagship. Retrieved June 11, 2020, from https://leadershipflagship.com/2016/11/10/fake-positivity-can-be-toxic-to-the-workplace/
Schnitzer, K. (2019). Toxic positivity is a real thing and it may be plaguing your office. Retrieved June 11, 2020, from https://www.theladders.com/career-advice/toxic-positivity-is-a-real-thing-and-it-may-be-plaguing-your-office
Toxic positivity: why the speech of the constant good wave makes health bad - ProQuest. (2019). Retrieved June 11, 2020, from http://search.proquest.com.unair.remotexs.co/docview/2326774520/1BA9E3DFFA504A4APQ/1?accountid=31533