Pentingnya Work Life Balance di Era Distrupsi Digital

Pentingnya Work Life Balance di Era Distrupsi Digital
Handayani (2013) menjelaskan bahwa work-life balance adalah suatu keadaan ketika seseorang mampu berbagi peran dan merasakan adanya kepuasan dalam peran-peranya tersebut yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat work family conflict dan tingginya tingkat work family facilitation atau work family enrichment. Work-life balance dibagi menjadi tiga komponen utama, yaitu:
- Time balance: jumlah waktu yang seimbang untuk peran dalam pekerjaan dan keluarga.
- Involvement balance: level keterlibatan psikologis yang seimbang antara peran dalam pekerjaan dan keluarga.
- Satisfaction balance: kepuasan yang seimbang antra peran pekerjaan dan keluarga.
Manfaat
Keseimbangan kehidupan kerja menjadi topik penting di beberapa negara, karena memahami bagaimana efektivitas individu dalam mengelola kehidupan pribadinya dan kehidupan kerja akan menciptakan manfaat bagi individu seperti kepuasan hidup, mentalitas yang sehat, dan perilaku yang baik. Sedangkan untuk organisasi, akan memberikan manfaat, yaitu kepuasan kerja yang dapat menyebabkan perilaku efektif di tempat kerja, dapat meningkatkan kinerja.
Dampak Ketidakseimbangan
Menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan adalah penting bagi semua karyawan, tetapi itu adalah tugas yang sulit bagi banyak orang. Jika tidak seimbang dengan benar, hal itu dapat menyebabkan karyawan menjadi tidak puas, tidak termotivasi dalam peran mereka, dan dampak negatif lainnya pada kehidupan dapat terjadi seperti kurangnya olahraga, peningkatan tingkat stres, kehidupan sosial yang kecil, masalah psikologis dan kesehatan fisik.
Distribusi waktu, tenaga, komitmen terhadap suatu peran yang lebih besar ketimbang peran yang lainnya dapat menimbulkan ketidakpuasan. Ketidakseimbangan kehidupan kerja Work-life balance dapat menyebabkan dampak negatif bagi organisasi dan individu. Bagi organisasi, ketidakseimbangan kehidupan kerja dapat menyebabkan perilaku yang tidak efektif di tempat kerja, seperti ketidakhadiran (absenteeism) yang pada gilirannya akan mengurangi kinerja. Selain itu, dapat mengurangi tingkat kepuasan dan komitmen terhadap organisasi, serta meningkatkan intensi untuk mengundurkan diri (turnover). Ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga akan mempengaruhi karir, kesehatan mental, tingkat stres, dan kepuasan kerja.
Berada di era digital dan teknologi dalam tugas pekerjaan sehari-hari, kita dituntun untuk percaya bahwa pekerjaan akan lebih efisien dan kehidupan kerja kita akan menjadi lebih mudah. Namun, teknologi telah memungkinkan lingkungan yang 'selalu terhubung' ketika jauh dari tempat kerja dan juga memengaruhi jam kerja. Tetap terhubung juga memengaruhi kemampuan pekerja atau talent untuk menjaga keseimbangan kehidupan kerja mereka karena terhubung secara terus-menerus membuat mereka sulit untuk 'mematikan' dan meninggalkan pekerjaan di tempat kerja.
Sebuah survei dari Managers.org.uk berfokus pada jam kerja manajer menjelaskan secara rinci tentang “jam kerja manajer di era digital”. Menurut survei, manajer bekerja lembur dan tren ini terus meningkat sejak 2012.
“61% manajer mengatakan bahwa teknologi telah membuatnya sulit untuk mematikan pekerjaan. Sekitar satu dari lima manajer mengatakan mereka sekarang memeriksa email mereka sepanjang waktu di luar jam kerja; lebih dari setengah (54%) sering memeriksa. Ini sangat umum di antara mereka yang berada di posisi manajemen senior. Meskipun tidak dirasakan oleh semua manajer, aksesibilitas email yang konstan dan konektivitas digital berarti jam kerja yang lebih lama bagi beberapa manajer. "
Menjaga Work-life Balance di Era Digital
Selama dua dekade terakhir, batas-batas antara pekerjaan dan kehidupan non-kerja menjadi semakin kabur. Laptop, ponsel pintar, dan bentuk lain dari teknologi komunikasi seluler telah mengubah cara kita bekerja, terlebih di masa pandemi COVID-19 sekarang ini. Bagi banyak orang, pekerjaan menjadi lebih fleksibel sehubungan dengan kapan dan di mana hal itu dapat dilakukan. Namun, di sisi lain, penelitian menunjukkan bahwa karyawan bekerja lebih lama daripada biasanya dan bahwa pekerjaan dituntut untuk menjadi lebih intens di mana pun dan kapan pun. Kekuatan bertolak-belakang ini telah menghasilkan perlunya “always on”.
Karyawan dapat bekerja lembur, ditambah mereka dapat membawa pulang pekerjaan, dan mereka mudah memeriksa komunikasi terkait pekerjaan melalui gadget selama waktu libur mereka. Beberapa menyambut baik fleksibilitas ini karena memberi mereka kebebasan untuk mengintegrasikan kehidupan kerja dan non-kerja, dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan memungkinkan mereka menyusun keseimbangan kehidupan kerja yang mereka inginkan. Di sisi lain banyak juga yang merasa kewalahan dan kelelahan (job burnout) karena harapan akan ketersediaan waktu membahas pekerjaan menjadi “konstan” (Allen, Jenny, Bauer, Brauchli, & Wepfer, 2017)
Sementara banyak negara menyerahkan kebijakan kepada masing-masing perusahaan, yang lain membuat undang-undang untuk memastikan karyawan terlindungi. Memperluas keseimbangan yang sangat dibutuhkan agar mereka tetap waras. Di Prancis, perusahaan dengan lebih dari 50 karyawan harus memberi karyawan hak untuk memutuskan sambungan. Ini berarti mereka tidak perlu menjawab email di luar jam kantor reguler. Di Jerman terdapat larangan manajer menjangkau staf saat mereka sedang berlibur. Bahkan, produsen kendaraan Daimler membuat perangkat lunak karyawan mereka untuk benar-benar akan menghapus email kerja yang masuk saat berlibur. Di Swedia, Denmark, Norwegia, Finlandia, dan Islandia semuanya memiliki undang-undang yang mensyaratkan harus ada minimal 25 hari untuk liburan yang harus diterima setiap tahun selain hari libur umum.
Mempromosikan keseimbangan kehidupan kerja adalah bagian penting dari SDM dan budaya perusahaan. Kesadaran akan pentingnya adalah kunci bagi organisasi mana pun. Di sisi lain, dari sudut karyawan, kita perlu untuk membatasi secara tegas diri kita antara waktu kerja dan non kerja, karena sudah semestinya begitu, mengingat banyak dampak negatif yang timbul dari adanya ketidakseimbangan tersebut.
Referensi
Allen, T. D., Jenny, G. J., Bauer, G. F., Brauchli, R., & Wepfer, A. G. (2017). Work-Life Boundaries and Well-Being: Does Work-to-Life Integration Impair Well-Being through Lack of Recovery? Journal of Business and Psychology, 33(6), 727–740. https://doi.org/10.1007/s10869-017-9520-y
Handayani, A., Afiati, T., & Adiyanti, M. G. (2015). Studi Eksplorasi Makna Keseimbangan Kerja Keluarga pada Ibu Bekerja. Semarang: Seminar Psikologi & Kemanusiaan diunduh dari http://mpsi.umm.ac.id/files/file/30-36 Arri Handayani.pdf.
Moloney, D. (n.d.). Is Work-Life Balance Attainable In Today’s Digital Age? — YFS Magazine. Retrieved June 15, 2020, from https://yfsmagazine.com/2019/02/18/is-work-life-balance-attainable-in-todays-digital-age/
Work-life balance in the digital era - Certes. (n.d.). Retrieved June 15, 2020, from https://certes.co.uk/work-life-balance-in-the-digital-era/